Minggu, 20 Januari 2008

TEORI-TEORI TERKAIT GENDER

BAB I
Dalam Perspektif Psikologi

Gender adalah segala sesuatu yang diasosiasikan dengan jenis kelamin seseorang, termasuk juga peran, tingkah laku, preferensi, dan atribut lainnya yang menerangkan kelaki-lakian atau kewanitaan di budaya tertentu (Baron&Byrne, 1979). Pada beberapa kepentingan, norma sosial mengacu pada norma tradisional dan perilaku yang sesuai dengan jenis kelaminnya diharapkan oleh masyarakat, dimana laki-laki lebih diharapkan lebih kuat, dominant, asertif, sementara perempuan seharusnya mempunyai sifat merawat, sensitif, dan ekspresif. Jika situasinya sesuai dan nyaman, maka akan sangat memuaskan untuk mengikuti dan bertingkah laku sesuai norma sosial tersebut, namun jika tidak sesuai, maka tingkah laku dapat disesuaikan dengan kondisi (Wood et al., 1997 dalam Baron & Byrne, 1979).
Androgynous. Kebanyakan dari kita melihat maskulinitas dan femininitas sebagai dua hal yang berada di dua ujung kutub dari satu kontinum (Storm, 1980 dalam Spencer&Jeffrey, 1993 ). Oleh karena itu kita berasumsi bahwa semakin maskulin seseorang, maka semakin kurang feminin ia dan begitu pula kebalikannya. Sehingga, seorang pria yang memiliki sifat stereotipikal feminin seperti pengasuhan, tenderness, dan emosional sering dilihat sebagai kurang maskulin dibanding pria lain. Perempuan yang bersaing dengan laki-laki dalam dunia bisnis diterima bukan hanya lebih maskulin tapi juga kurang feminin dibanding wanita lain.
Beberapa ilmuwan behavioral berargumen bahwa maskulinitas dan femininitas sebenarnya membandingkan dua dimensi kepribadian yang berdiri sendiri (Bem, 1975; Spence at al.,1975; Helmreich et al, 1979 dalam Spencer&Jeffrey, 1993). Orang yang memiliki maskulinitas tinggi, baik laki-laki maupun wanita dapat pula memiliki sifat feminin dan kebalikannya. Orang yang mempertunjukkan keasertifan dan keterampilan instrumental yang bersifat maskulin berjalan beriringan dengan pengasuhan dan kerjasama yang bersifat feminin yang cocok dengan maskulinitas dan femininitas peran gender. Mereka ini disebut telah menunjukkan psychological androgyny. Orang yang tinggi dalam assertiveness dan keterampilan instrumental hanya cocok dengan stereotipe maskulin. Orang yang tinggi dalam sifat seperti pengasuhan dan kerjasama cocok dengan stereotipe feminin. Orang yang rendah di pola stereotipe maskulin dan feminin dilihat sebagai “undifferentiated” merujuk pada stereotipe peran gender. Orang yang psychologically androgynous mampu untuk memanggil range yang lebih luas dari sifat maskulin dan feminin untuk menemukan tuntutan dari berbagai macam situasi dan bakat mereka. Terdapat pula bukti bahwa sifat feminin, seperti pengasuhan dan sensitivitas, muncul untuk memprediksi keberhasilan dalam hubungan intim-dengan laki-laki sebaik dengan perempuan. Laki-laki androgynous lebih mungkin untuk mengekspresikan perasaan cintanya kepada pasangannya dan lebih dapat menerima kesalahan pasangannya daripada tipe maskulin (Coleman & Ganong, 1985 dalam Spencer & Jeffrey, 1993).
Laki-laki dan perempuan yang psychologically androgynous lebih merasa nyaman dengan seksualitas mereka daripada laki-laki maskulin dan wanita feminin (Wolfish & Mayerson, 1980 dalam Spencer & Jeffrey, 1993).
Teori Gender Expectations. Gender expectations atau pengharapan akan jender membawa kita untuk lebih memilih laki-laki untuk posisi otoritas dan meletakkan wanita pada peran sub-ordinat atau hanya sebagai pelengkap. Di dalam keluarga, kelompok dan organisasi sosial, pria mempunyai status yang lebih tinggi daripada wanita (Betz & Fitzgerald, 1987; England, 1979; Kanter, 1977; Lovdal, 1989; Needleman & Nelson, 1988; Scanzoni, 1982 dalam Beal & Sternberg, 1999). Peran status tinggi memerlukan dominansi, kecerdasan, rasionalitas, objektifitas, inisiatif, kepemimpinan, dan penetapan keputusan (Secord, 1982 dalam Beal & Sternberg, 1999). Perlu dicatat bahwa karakteristik tersebut mirip dengan stereotipe maskulin, karena hanya laki-laki yang terlihat memiliki peran autoritas , mereka butuh memperlihatkan tingkah laku mereka agar dikarakterkan maskulin (Beal & Sternberg, 1999).
Sebaliknya, peran pelengkap memberikan kesempatan yang kecil untuk memiliki tingkah laku tersebut di atas. Mereka dianjurkan untuk bersifat tergantung (superior mengatur penghasilan dan pekerjaan mereka, dan pelengkap tersebut harus menunggu perintah pihak superior), menyesuaikan dan memiliki rasa hormat terhadap keputusan pihak superior, sensitif terhadap kebutuhan pihak superior, serta merawat pihak superior tersebut (Secord, 1982; Snodgrass, 1985, 1992 dalam Beal et. al., 1999). Pada zaman dahulu, semua wanita dilihat dalam posisi sub-ordinat atau pelengkap. Lalu, tingkah laku yang dibutuhkan untuk peran tersebut dikarakteristikan sebagai feminin (cf. Rothbart, Fulero, Jensen, Howard, & Birrell, 1978; both Unger, 1976,1978, and Henley, 1977 dalam Beal et. al., 1999). Sebagai akibat dari stereotipe-nya dan peran tingkah laku mereka, wanita lalu dilihat secara alami hanya cocok untuk posisi sub-ordinat. Dan seperti juga wanita, karena hanya laki-laki yang diharapkan untuk peran status yang tinggi, sikap mereka disebut sebagai maskulin, dan hanya laki-laki yang diharapkan untuk cocok dalam posisi otoritas.
Menurut Helson (1993 dalam Papalia, 2003) menyatakan bahwa menurut pandangan Jung, kualitas tertinggi dari wanita pada usia 50an diasosiasikan dengan otonomi dan keterlibatan dalam hubungan intim (intimate relationship). Menurut Gutmann, peran gender tradisional menekankan pada keamanan dan kesejahteraan perkembangan anak, dimana ibu berperan sebagai pengasuh dan ayah penyedia sumber daya. Ketika masa pengasuhan anak sudah berlalu, yang berlaku bukan lagi sekedar menyeimbangkan peran laki-laki dan perempuan, namun sudah mengarah pada pembalikan peran, atau yang disebut juga dengan gender crossover.
Sex-role ideology. Kepercayaan normatif atau preskriptif mengenai sifat hubungan peran yang tepat antara perempuan dan laki-laki disebut sex-role ideology. Dalam masyarakat tradisional, laki-laki biasanya dipandang lebih dominan dan/atau lebih penting dibandingkan perempuan, sedangkan di masyarakat modern, seseorang melihat pergerakan lebih menuju pada hubungan yang lebih egaliter. Mereka mengharapkan variasi menyeberangi negara dalam kepercayan yang umum maupun tipikal mengenai ketepatan variasi pelaksanaan sosial yang melibatkan perempuan dan laki-laki, seperti tanggung jawab dalam mengurus anak atau bekerja di luar rumah, dievaluasi sepanjang skala modern/tradisional. Tambahannya, sepertinya beralasan untuk mengharapkan bahwa terdapat variasi terukur pada sex-role ideology diantara banyak individu pada negara tertentu dan variasi ini terkait secara sistematik dengan self-concept dari individu. Sebuah hipotesis prori yang beralasan bahwa semakin maskulin laki-laki dan semakin maskulin perempuan akan memegang kepercayaan secara relatif akan peran sex yang bersifat tradisional, sedangkan orang yang lebih androgynous, dari kedua sex, secara lebih egaliter.
Self Concept pada laki-laki dan Perempuan. Berdasarkan stereotip seks ditinjau dari kebudayaan, dikatakan bahwa laki-laki dan perempuan secara psikologis berbeda dalam beberapa dimensi dan model yang disediakan oleh stereotip tersebut akan mendorong laki-laki dan perempuan untuk menggambarkan diri mereka secara berbeda. Sebuah penelitian menemukan bahwa anak belajar tentang stereotip seks sejak usia awal. Kebanyakan anak usia 5 tahun telah mempelajari beberapa komponen utama dari stereotip seks dan semakin meningkat selama usia awal sekolah hingga usia 11 tahun. Anak tumbuh dalam masyarakat yang percaya bahwa laki-laki dan perempuan berbeda secara psikologis dan hal ini akan mendorong anak untuk mempersepsikan diri mereka dengan cara yang kongruen dengan model gender mereka.
Kebanyakan masyarakat memberikan sosialisasi yang berbeda, anak laki-laki diperlakukan secara berbeda dan didorong untuk terlibat dalam jenis kegiatan tertentu sedangkan anak perempuan didorong untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang berbeda dengan anak laki-laki. Keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan itu dan asosiasi terhadap reward memberikan alasan lain bagi perempuan untuk mempersepsikan dirinya berbeda dengan laki-laki dan hal ini menimbulkan harapan yang berbeda terhadap ideal selves laki-laki dan perempuan.
Ada banyak studi yang mempertanyakan tentang perbedaan self concept antara laki-laki dan perempuan dan diantaranya ditemukan bahwa perbedaan self concept di dalam kedua kelompok gender yaitu antara perempuan dan perempuan atau laki-laki dengan laki biasanya lebih besar daripada rata-rata perbedaan antara kedua kelompok gender yaitu antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan kepribadian antar perempuan dan antar laki-laki lebih besar daripada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Psychological Androginy. Isu penting dalam psikologi androgin adalah pertanyaan tentang perbedaan self esteem individu dalam skor androgin. Hasil penelitian menemukan bahwa jika dihadapkan dengan atribut positf dari maskulin atau feminin, orang yang mempunyai self esteem yang tinggi cenderung menyeleksi sejumlah besar atribut positif yang diasosiasikan dengan laki-laki maupun atribut yang diasosiasikan dengan perempuan dan inilah yang diklasifikasikan sebagai androgynous sedangkan orang dengan self esteem yang rendah cenderung hanya memilih sedikit dari atribut positif maskulin atau feminin sehingga digolongkan sebagai undifferentiated. Penemuan lain membuktikan bahwa individu androgynous mempunyai self esteem yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu undifferentiated atau sex-differentiated khususnya individu dengan tipe feminin (Bem, 1997; Kelly & Worell, 1977; Spence et al,1975). Akan tetapi, ketika dihadapkan dengan atribut laki-laki dan perempaun yang keduanya mempunyai nilai positif dan negatif, self esteem individu androgynous akan menjadi berkurang.
BAB II
Dalam Perspektif Ilmu Sosial

Gender diartikan sebagai konstruksi sosiokultural yang membedakan karakteristik maskulin dan feminin. Gender berbeda dengan seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis (Moore, 1988, 1994:10). Kompleksitas realitas kehiduoan kaum perempuan dapat ditinjau dari dua sudut.
Pertama. Realitas itu tersusun dari unsur-unsur yang begitu luas yang menyebabkan pemahaman dan penelitian terhadap realitas itu harus mengidentifikasikan unsur-unsur tersebut dan melihat kaitan antarunsur yang terdapat dalam susunan itu. Tanpa usaha yang sistematis untuk memilah-milah dan menghubung-hubungkan unsur-unsur yang menyusun realitas, tidak akan diperoleh suatu pemahman yang dalam tentang apa, siapa, dan bagaimana kaum perempuan itu. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa unsur-unsur penyusun realitas berupa agama, budaya, ekonomi, politik, atau lingkungan fisik suatu tempat. Dalam kenyetaannya, unsur-unsur tersebut tidak dapat diabaikan.
Kedua. Realitas hidup kaum perempuan tersusun dari unsur yang berlapis-lapis yang menyebabkan usaha penelitian menjadi usaha mengupas lapis demi lapis unsur untuk menemukan realitas tersebut. Lapis-lapis ini telah menyebabkan realitas hidup kaum perempuan tidak ubahnya suatu misteri yang perlu diungkapkan dengan membuka lapis demi lapis sebelum ditemukan apa, siapa, dan bagaimana sesungguhnya kaum perempuan itu. Susunan yanbg berlapis-lapis ini terutama disebabkan oleh proses sejarah.
Persoalan Teoritis Mendasar
Teori feminis modern bertolak dari pertanyaan sederhana : ”dan bagaimana dengan perempuan?” Dengan kata lain, di mana perempuan berada dalam setiap situasi yang diteliti? Bila perempuan tak berperan, mengapa ? Bila mereka berperan, apa sebenarnya yang mereka lakjukan ? Bagaimana mereka mengalami situasi ? Apa yang mereka sumbangkan untuk itu ? Apa artinya itu bagi mereka ?
Pertanyaan mendasar kedua feminisme adalah : ”Mengapa semuanya ini terjadi?” Pertanyaan ini memerlukan penjelasan tentang dunia sosial itu sendiri, penggambaran (deskripsi) dan penjelasan tentang kehidupan sosial adalah dua wajah setiap teori sosiologi.
Pertanyaan mendasar ketiga untuk semua feminis adalah : ”Bagaimana kita dapat mengubah dan memperbaiki dunia sosial untuk membuatnya menjadi tempat yang lebih adil bagi perempuan dan semua orang ?”
Dengan pertanyaan mendasar diatas mungkin kita dapat mengupas satu-persatu teori-teori yang terkait dengan gender melalui teori-teori sosial yang menjelaskan tentang gender. Kemudian Goerge Ritzer pada bukunya ”Teori Sosiologi Modern” yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, membagi teori sosial tentang gender menjadi dua yakni teori sosial makro tentang gender dan teori sosial mikro tentang gender.
Teori sosial Makro tentang Gender
Pertanyaan pertama feminisme ”dan bagaimana dengan wanita?” telah menghasilkan tanggapan yang signifikan dari teoritisi yang terbagi dalam tiga perspektif sosial makro utama yakni fungsionalisme, teori konflik analitis, dan teori sistem dunia neo-Marxism. Para teoritis ini menggunakan proses analisis yang sama dalam menempatkan perbedaan jenis kelamin dalam anlisis teoritis umum mereka terhadap fenomena sosial berskala luas. Pertama. Mereka mendefinisikan fenomena itu sebagai sistem antar hubungan dan struktur interaksi yang dipahami sebagai ”keteraturan pola dalam perilaku individual” (Chafetz, 1984 dalam Ritzer, 2003). Teoritis funghsional dan teoritisi konflik analitik memusatkan perhatian pada negara-negara atau, kadang-kadang, khususnya dalam teori konflik analitik pada pengelompokkan kultural pramodern. Teori sistem dunia membicarakan kapitalisme global sebagai sebuah sistem transisi di mana negara bangsa adalah struktur yang penting. Variasi antara teori-teori ini terletak pada struktur khusus dan proses sistemik yang mereka pandang penting. Kedua. Teoritis ini memusatkan perhatian pada keadaan wanita di dalam sistem yang telah digambarkan itu. Ketiga teori itu akhirnya tiba pada keimpulan yang sama : tempat utama wanita dalam pengertian bahwa itu adalaj lokasi yang dilihat dalam semua kultur sebagai ”wilayah” khusus untuk perempuan adalah rumah tangga (keluarga).
Fungsionalisme. Pendukung utama teori fungsionalisme jender adalah Miriam johson. Berbicara sebagai teoritis fungsional dan sebagai feminis, ia pertama mengakui kegagalan fungsionalisme dalam meniliti secara memadai kerugian yang dialami wanita dalam masyarakat. Ia mengakui bahwa adanya pandangan berat sebelah yang tak sengaja dalam teori Parsons tentang keluaraga dan kecenderungan fungsionalisme untuk meminggirkan masalah ketimpangan sosial, dominasi, dan penindasan. Suatu kecenderungan yang berasal dari penekanan perhatian fungsionalisme pada ketertiban sosial. Yang sangat penting dari teoritis fungsional ini untuk memahami masalaha jender adalah aplikasi Johnson atas konsep Parsons seperti peran ekdpresif VS instrumental, tesisnya tentang hubungan lemabga keluarga dengan lembaga sosial lain, dan modelnya tentang masyarakat fungsional. Posisi sosial utama wanita dalam keluaraga adalah sebagai produsen utama fungsi-fungsi pokok keluarga. Dalam melaksanakan peran tersebut, wanita harus berorientasi secara akspresif, yakni dengan penyesuaian emosional dan tanggapam kasih sayang. Fungsi wanita dalam keluarga berorientasi ke arah penekanan perasaan kasing sayang dan mempengaruhi fungsi mereka dalam seluruh struktur sosial lainnya, terutama ekonomi.
Teori Konflik Analitik. Teoritisi paling berpengaruh yang menganalisis masalah jender berdasarkan perspektif teori konflik adalah Janet Chafetz. Pendekatan Chafetz adalah lintas kultural dan lintas historis dan mencoba merumuskan teori jender dalam seluruh pola-pola kemasyarakatan khususnya. Secara lebih khusu ia memusatkan perhatian pada masalah ketimpangan gender yang disebutnya sebagai stratifikasi jenis kelamin. Studi ini meliputi diferensiasi peran menurut jenis kelamin, ideologi patriakis, organisasi keluarga dan pekerjaan, dan kondisi seperti pola kesuburan, pemisahan rumah tangga dan tempat kerja, surplus ekonomi, kecanggihan teknologi, kepadatan penduduk, dan kekerasan lingkungan; kesemuanya dipahami sebagai variabel. Interaksi variabel ini menetukan tingkat stratifikasi jenis kelamin karena variabel itu menentukan struktur kunci rumah tangga dan produksi ekonomi serta derajat perpindahan wanita antara bidang rumah tangga dan produksi ekonomi.
Teori Sistem Dunia. Teori ini memandang kapitalisme global di seluruh fase historisnya sebagai sebuah sistem untuk dijadikan sasaran analisis sosiologi. Masayarakat nasional dan kelompok kultural khusus lainnya adalah struktur penting dalamsistem kapitalisme dunia karena merupakan stratifikasi ekonomi dari masyarakat dan kelompok-kelompok itu (inti ekonomi, semipinggiran, dan pinggiran), pembagian kerja, modal, dan kekuasaan di antara dan di dalamnya, dan hubungan kelas di dlaam setiap unit sosial. Karena yang telah ditetapkan sebagai sasaran studi teori ini adalah kapitalisme, maka individu di seluruh unit-unit sosial secara khas dipahami menurut peran mereka dalam isstem kapitalis untuk menciptakan nilai lebih. Dengan demikian, teori ini secara khas yang hanya memahami peran wanita dalam sistem sosial sebatas tenaga kerja wanita yang menjadi bagian kapitalisme yakni ketika wanita bekerja dalam proses produksi dan pasar kapitalis. Tetapi, keterlibatan penuh dan langsung dengan isu gender segera membuat model sistem sosial ini menjadi persoalan.
Teori Sosial Mikro tentang Gender
Pakar teori sosiologi mikro kurang memperhatikan kerugian sosial wanita ketika membahas masyarakat sebagai manusia yang berinteraksi. Pertanyaan yang mereka ajukan adalah mengapa gender muncul dalam interaksi dan mengapat interaksi menghasilkan perbedaan gender. Dua teori sosiologi mikro utama gender adalah interaksionisme simbolik dan etnometodologi.
Teori Interaksionisme simbolik. Analisis pakar interaksionisme simbolik menunjukkan bahwa individu terlibat dalam memepertahankan diri berdasarkan gender dalm berbagai situasi. Individu mempunyai gagasan tentang apa makna menjadi lelaki atau wanita. Individu membawa kedirian menurut jenis kelamin ke dalam situasi dan mencoba bertindak sesuai dengan pengertian yang telah dihayati ini, yang mungkin berubah melalui interaksi dari situasi ke situasi, tetapi merupakan gudang komponen jenis kelamin perilaku individu.
Ethnometodologi. Teori ini mempertanyakan stabilitas identitas menurut gender dan memperhatikan ”bagaimana gender diperankan” oleh aktor dalam berbagai situasi. Riset etnometodologi menunjukkan bahwa pemabgian kerja dalam rumah tangga, mungkin dilihat adil dan seimbang baik oleh laki-laki maupun wanita dalam situasi itu karena lelaki dan wanita menerima dan menyesuaikan diri terhadap harapan normatif untuk berperan menurut jenis kelamin di dalam rumah tangga.
Variasi Teori Feminis Kontemporer
Tipologi teori feminis didasarkan atas pertanyaan paling mendasar, ”dan apa peran wanita?” Secara esensial ada empat jawaban untuk pertanyaan tersebut. Berikut ringkasan dari berbagai Teori Feminis menurut Ritzer (Ritzer, 2003:415).
Pertama adalah bahwa posisi dan pengalaman permpuan dari kebanyakan situasi berbeda dari yang dialami lelaki dalam situasi itu. Kedua adalah posisi wanita dalam kebanyakan situasi tak hanya berbeda, tetapi juga kurang menguntungkan atau tak setara dibandingkan dengan lelaki. Ketiga adalah bahwa situasi wanita harus pula dipahami dilihat dari sudut hubungan kekuasaan langsung, disubordinasikan, dibentuk, dan digunakam, serta disalahgunakan oleh lelaki. Kemungkinan keempat adalah bahwa wanita mengalami pembedaan, ketimpangan dan berbagai penindasan berdasarkan posisi total mereka dalam susunan stratifikasi atau vektor penindasan dan hak istimewa, kelas, ras, etnisitas, umur, stattus perkawibab, dan posisi global. Masing-masing berbagai tipe teoriu feminis itu dapat digolongkan sebagai teori perbendaan gender, atau teori ketimpangan gender, atau teori penindasan gender, atau teori penindasan struktural.
PERBEDAAN GENDER
Bagian ini akan diperlihatkan beberapa teori perbedaan gender yakni feminisme kultural, teori persyaratan institusional, dan teori yang didasarkan pada filsafat eksistensial atau fenomenologi, dan lain-lain.
1. Teori Konstruksi Sosial
Pertama, konstruksi Sosial, yang menerangkan bagaimana proses awal bidang domestik dan bidang publik itu terbentuk. Menurut Berger, karena a. Proses eksternalisasi, yaitu suatu nilai yang diproduksi oleh individu dari yang tidak ada menjadi ada. b. Proses objektivikasi, yaitu kesepakatan-kesepakatan tadi menjadi realitas sosial atau proses penolakan dan proses penerimaan sehingga realitas terbentuk. c. Proses Internalisasi, yaitu dari individu itu sendiri karena sebenarnya individu merupakan bagian dari masyarakat sosial.
Dalam konteks persepsi perempuan terhadap ketimpangan gender, sulit untuk memisahkan pengaruh faktor internal dan eksternal. Hal ini berkaitan dengan konsep ketimpangan gender sebagai suatu hasil konstruksi sosial. Menurut Abdullah (1996) manusia memberi arti dan interpretasi terhadap perbedaan biologis laki-laki dan perempuan yang kemudian melahirkan suatu struktur sosial dengan pembagian pembagian hak dan kewajiban secara seksual. Hal ini kemudian menjadi realitas objektif yang memiliki daya paksa terhadap manusia yang semula menciptakannya. Demikian pula kemudian, kata Berger (1991) dalam Abdullah (1996), setiap orang diperkenalkan pada makna-makna budaya, belajar ikut serta dalam tugas-tugas yang sudah ditetapkan dan menerima peran-peran selain menerima identitas-identitas yang membentuk struktur sosialnya. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa proses objek¬tivikasi tersebut dapat menjadi suatu faktor internal yang mempengaruhi persepsi individu. Dengan demikian menurut Astuti (1997) banyak kaum perempuan yang menerima ketidakadilan jender tersebut dengan wajar karena merupakan suatu takdir. Sebagai akibat dari sikap yang menerima keadaan ini, struktur sosial yang timpang ini akhirnya tidak hanya terus menerus dimitoskan oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan. Hal tersebut juga berlaku pada kaum perempuan yang memiliki akses kekuasaan yang lebih tinggi.
2. Teori Reproduksi Sosial
Kedua, Reproduksi Sosial, yaitu bagaimana sebenarnya perbedaan bidang domestik dan publik itu dikuatkan/diintensifkan. Hal ini dilakukan :
a. dengan simbol-simbol, seperti dibentuknya \'Dharma Wanita\' yang sebenarnya lebih menguatkan posisi perempuan di bidang domestik dan laki-laki di bidang publik,
b. reproduksi status biologis perempuan, misalnya perempuan adalah mahluk yang lemah, perempuan berkaitan dengan kesehatan, melahirkan, perempuan yang sedang menstruasi lebih emosional sehingga dapat merugikan perempuan dalam dunia kerja.
c. reproduksi status kultural perempuan, misalnya perempuan lebih telaten, rapi,dll, sehingga perempuan diberikan pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian yang tinggi (sebagai pekerja marginal).
Persepsi adalah suatu objek yang dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang bersumber dari dalam diri individu yang mewujud dari nilai-nilai yang diproduksi individu tersebut. Sebaliknya faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari lingkungan luar individu. Menurut Mar\'at (1982) persepsi ini sangat berhubungan dengan intuisi dan tercermin dalam bentuk perasaan senang/tidak senang terhadap sesuatu.
3. Feminisme Kultural
Dalam implikasinya atau prakteknya yang lebih luas untuk perubahan sosial, feminisme kultural mengatakan bahwa cara perempuan dalam menjalani hidup dan mendapatkan pengetahuan bisa menjadi model yang lebih baik untuk menghasilkan masyarakat yang adil ketimbang preferensi tradisional dari kultur androsentris pria.
4. Peran Institusional
Teori ini mengemukakan bahwa perbedaan gender berasal dari perbedaan peran lelaki dan perempuan di dalam berbagai setting indtitusional. Satu determinan utama dari perbedaaan itu menurut teori ini adalah pembagian tenaga kerja seksual yang mengaitkan perempuan dengan fungsi sebagai istri, ibu, pekerja rumah tangga, ruang pribadi di rumah dan keluarga, dan karena itu mengaitkannya dengan serangkaian peristiwa dan pengalaman yang sangat berbeda dengan pria.
5. Teori Feminis Eksistensialis
Teori ini digawangi oleh Simone de Beauvoir dengan bukunya yang sangat terkenal The Second Sex (1949).
Jean Paul Sartre dalam Being and Nothingness menggambarkan psike sebagai jiwa yang teralienasi dan membuat perbedaan antara pengamat dan yang diamati dengan membagi Diri ke dalam 3 bagian yaitu pertama ada untuk dirinya sendiri (pour-soi), kedua ada dalam dirinya sendiri (en-soi). Ada dalam dirinya sendiri mengacu kepada kehadiran material repetitif yang dimiliki oleh manusia dengan binatang, sayuran, dan mineral. Ada untuk dirinya sendiri mengacu kepada kehadiran yang bergerak dan berkesadaran, yang hanya dimiliki oleh manusia. Menurut Sartre, apa yang memisahkan ke-Aku-an seseorang-kesadaran seseorang atau pikiran seseorang dari tubuhnya, secara paradoks, adalah tidak ada sama sekali (nothing) atau ketiadaan (nothingness).
Ketiga, Ada untuk yang lain. Sartre kadang-kadang menggambarkan modus ke-Ada-an ini dalam 2 bentuk. Secara positif atau sebagai Mit-sein, sebagai ada dengan komunal.Meskipun demikian, Sartre lebih sering menggambarkannya secara negatif yaitu Ada dengan yang melibatkan ” Konflik personal karena setiap ada untuk diirnya sendiri berusaha untuk menemukan Ada-nya sendiri dengan secara langsung atau tidak llangsung menjadikan yang lain sebagai obyek”.
Menurut Sartre, kebebasan, karakteristik yang membedakan suatu diri, lebih merupakan kutukan daripada rahmat. Kebebasan merupakan kutukan, karena selama seseorang sadar, tidak ada kelegaan dari kebebasan untuk memilih dan menegakkan diri. Lebih daripada itu, apa yang disebut sebagai ”sifat manusia”, suatu esensi/inti yang dimiliki bersama-sama oleh semua manusia, yang menetukan bagaimanan seorang manusia seharusnya, sesungguhnya tidak ada.
Sartre berpendapat bahwa setiap subjek membangun dirinya sebagai transenden dan bebas serta memandang Liyan sebagai imanen dan diperbudak. Begitu kita memilih satu pilihan untuk diri kita, kita secara terus menerus menghilangkan kemungkinan kemungkinan Liyan. Kita mendapatkan masa depan dengan cara menggadaikan masa lalu, dan resiko membebani psike kita. Jika kita berkeras mengatakan bahwa kita tidak mengalami beban psike itu, seperti ketakutan, ketidakberdayaan, rasa mual, Sartre akan mengkategorikan kita sebagai orang yang memiliki “bad faith”, suatu keadaan yang dekat dengan penipuan diri, kesadaran semu, atau delusi. Karena itu tujuan dari bad faith adalah untuk melarikan dari kondisi yang buruk tersebut.
Dari semua kategori yang diajukan oleh Sartre, yang paling tepat untuk diterapkan sebagai analisis feminis adalah Ada untuk yang lain. Menurut Sartre, hubungan antarmanusia adalah variasi dari dua bentuk dasar tema konflik; konflik antara kesadaran yang saling bersaing, yaitu antara Diri dan Liyan. Pertama, ada cinta, yang pada dasarnya bersifat masokistik. Kedua, ketidakperdulian, hasrat, dan kebencian, yang pada dasarnya bersifat sadistis.
Simone de Beauvoir dalam Eksistensialisme untuk Perempuan, mengadopsi bahasa ontologis dan bahasa etis eksistensialisme, mengemukakan bahwa laki-laki dinamai “laki-laki” sang Diri, sedangkan “perempuan” sang Liyan. Jika Liyan adalah ancaman bagi Diri, maka perempuan adalah ancaman bagi laki-laki. Karena itu, jika laki-laki ingin tetap bebas, ia harus mensubordinasi perempuan terhadap dirinya.
Menurut Dorothy Kauffman McCall, opresi perempuan oleh laki-laki unik karena dua alasan; “pertama, tidak seperti opresi ras dan kelas, opresi terhadap perempuan merupakan fakta historis yang saling berhubungan, suatu peristiwa dalam waktu yang berulangkali dipertanyakan dan diputarbalikkan. Perempuan selalu tersubordiansi laki-laki. Kedua, perempuan telah menginternalisasi cara pandang asing bahwa laki-laki adalah esensial dan perempuan adalah tidak esensial.
Beauvoir mengatakan bahwa meskipun fakta bilogis dan psikologis tentang perempuan misalnya, peran utamanya dalam reproduksi psikologis relatif terhadap peran sekunder laki-laki, kelemahan fisik perempuan relatif terhadap kekuatan fisik laki-laki, dan peran tidak aktif yang dimainkannya dalam hubungan seksual adalah relatif terhadap peran aktif laki-laki, dapat saja benar, namun bagaimana kita menilai fakta ini bergantung pada kita sebagai makhluk sosial.
Beauvoir menambahkan bahwa bersamaan dengan berkembangnya kebudayaan, laki-laki mendapatkan bahwa mereka dapat menguasai perempuan dengan menciptakan mitos tentang perempuan; irasionalitasnya, kompleksitasnya, dan mitos bahwa perempuan sulit dimengerti. Melalui penciptaan mitos ini, Beauvoir menekankan bahwa setiap laki-laki selalu dalam pencarian akan perempuan ideal yaitu perempuan yang akan menjadikannya lengkap. Tetapi karena kebutuhan dasar laki-laki sangatlah mirip, maka perempuan ideal yang dicari laki-laki cenderung tampak sama.
Beauvoir melabeli tindakan tragis perempuan yang menerima ke-Liyanan mereka sebagai misteri feminin, yang diturunkan dari generasi ke generasi melalui sosialisasi yang menyakitkan. Ia menyatakan bahwa perempuan menyadari perbedaan tubuhnya dengan tubuh laki-laki dari usia yang sangat muda. Dengan pubertas dan dengan semakin tumbuhnya payudaranya, dan dengan dimulainya siklus menstruasinya, anak-anak perempuan dipaksa utnuk menerima dan menginternalisasi tubuhnya sebagai Liyan, yang memalukan dan inferior. Ke-Liyanan ini, menurut Beavoir dilekatkan dalamlembaga perkawinan dan matherhood.
Kekuatan dan Kelemahan Feminis Eksistensialis
Kekuatan teori Beauvoir adalah ia memberi penguatan dan penyadaran terhadap perempuan lainnya akan tubuh dan posisi mereka yang dipaksa untuk menerima keadaan dirinya sebagaimana lingkungan membuatya untuk mereka. Beauvoir melihat lebih jauh bahwa situasi politik, hukum, ekonomi, sosial dan kebudayaan turut menghambat perempuan. Oleh karena itu Beauvoir menyarankan kepada perempuan agar dapat mengambil keputusan tegas untuk menentukan nasib mereka sendiri walaupun disadari bahwa kemungkinan tidak ada pilihan positif dan perempuan diharuskan bertanggungjawab terhadap keputusan yang mereka ambil.
Beauvoir kurang memperhitungkan kemampuan dan beban perempuan yang harus ditanggung dalam memutuskan hal yang menyangkut kehidupan perempuan( termasuk tubuh dan reproduksi ) yang telah lama melekat kuat dari generasi ke generasi. Beauvoir tidak melihat perlunya penguatan sesama perempuan (sisterhood) yang dapat dilakukan secara kolektif untuk membebaskan diri secara bersama-sama.
KETIMPANGAN GENDER
Dalam menjelaskan timbulnya fenomena ketimpangan gender pada dasarnya ada tiga teori dasar yang dapat digunakan yaitu teori neo-klasik, teori segmentasi pasar tenaga kerja dan teori feminis, namun dalam hal ini lebih pada teori feminis liberal. Dua teori pertama lebih melihat ketimpangan gender dalam dunia kerja, sedangkan teori yang terakhir melihat ketimpangan gender secara lebih umum dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
1. Teori neo-klasik
Teori neo-klasik menerangkan pembagian kerja seksual dengan menekankan perbedaan seksual dalam berbagai variabel yang mempengaruhi produktivitas pekerja. Perbedaan- perbedaan itu meliputi pendidikan, keterampilan, lamanya jam kerja, tanggung jawab rumah tangga, serta kekuatan fisik. Semua ini didasari asumsi bahwa di dalam persaingan antar pekerja, pekerja memperoleh upah sebesar marginal product yang dihasilkannya. Asumsi lain adalah bahwa keluarga mengalokasikan sumber daya mereka secara rasional. Konsekuensi logis dari hal ini adalah anggota rumah tangga laki-laki memperoleh investasi human capital yang lebih tinggi daripada perempuan. Selanjutnya, perempuan memperoleh pendapatan dari produktivitas yang lebih rendah dari laki-laki karena mereka memiliki human capital yang lebih rendah. (Anker dan Hein, 1986 dalam Susilastuti dkk, 1994).
2. Teori segmentasi pasar tenaga kerja
Teori segmentasi pasar tenaga kerja mengatakan bahwa laki-laki pada usia prima (prime-age) terkonsentrasi dalam pekerjaan berupah tinggi, stabil dan dengan latihan, promosi dan prospek karir lebih baik: dan disebut sebagai primary jobs. Sedangkan Secondary jobs, tidak menjanjikan jaminan akan kestabilan bekerja, kompensasi rendah, tanpa prospek untuk berkembang di masa depan; dan pada umumnya perempuan berada pada segmen ini (Chiplin dan Sloane, 1982). Keterbatasan ruang lingkup kerja perempuan diakibatkan oleh karena perempuan tidak mempunyai kapasitas untuk akses pada male-dominated jobs, sehingga perempuan terkonsentrasi secara berlebih dalam suatu range kesempatan kerja terbatas, yang menekan tingkat upah perempuan (Chiplin dan Sloane, 1982). Terbatasnya pilihan pekerjaan perempuan ini menurut Peluso (1984) karena perempuan dibatasi oleh siklus hidup yang dialami karena kewajiban pada aktivitas rumah tangga dan mencari nafkah berbeda- beda pada masing-masing tahap siklus tersebut. Dari hal tersebut terlihat bahwa teori segmentasi pasar tenaga kerja menunjukkan bahwa pekerja laki-laki dan perempuan tidak bersaing dengan landasan yang sama, karenanya tidak mempunyai akses yang sama ke lapangan kerja. Teori segmentasi pasar tenaga kerja ini dianggap tidak mampu menjelaskan mengapa segmentasi pasar tenaga kerja berdasarkan jenis kelamin terjadi.
3. Feminisme Liberal
Apa yang disebut sebagai Feminis Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki. Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.
Menurut kaum feminis liberal, tatanan gender ideal adalah kebebasan individu untuk memilih gaya hidup yang paling cocok untuk dirinya sendiri dan pilihan itu harus diterima dan dihormati oleh istri atau suami, pasangan yang takj beranak atau beranak. Kaum feminis melihat cita-cita ini sebagai cita-cita yang dapat meningkatkan praktik kebebasan dan kesamaan, sebagai cita-cita kultural utama di Amerika. Karena itu feminisme liberal konsisten dengan etos Amerika yang dominan dalam menerima prinsip dasar dan kelembagaannya, orientasi reformasiny dan seurannya terhadap nilai-nilai individualisme, pilihan, kebebasan, dan kesamaan peluang.
Inti ajaran feminis liberal :
  1. a) Memfokuskan pada perlakukan yang sama terhadap wanita di luar, daripada di dalam keluarga
  2. b) Memperluas kesempatan dalam pendidikan dianggap sebagai cara paling efektif melakukan perubahan sosial
  3. c) Pekerjaan-pekerjaan wanita, semisal perawatan anak dan pekerjaan rumah tangga dipandang sebagai pekerjaan tidak trampil yang hanya mengadalkan tubuh, bukan pikiran rasional
  4. d) Perjuangan harus menyentuh kesetaraan politik antara wanita dan laki-laki melalui penguatan perwakilan wanita di ruang-ruang publik. Para feminis liberal aktif memonitori pemilihan umum dan mendukung alki-laki yang memperjuangkan kepentingan wanita
  5. e) Berbeda dengan para pendahulunya, feminis liberal saat ini cenderungan lebih sejalan dengan model liberalisme kesejahtaraan atau egalitarian yang mendukung sistem kesejahteraan negara dan meritokrasi.

Kritik yang signifikan untuk Feminisme Liberal
Hal penting yang harus dikemukakan ialah, Feminisme Liberal tidak pernah mempertanyakan ideologi Patriarki dan sama sekali tidak bisa menjelaskan akar ketertindasan perempuan. Mereka hanya mengatakan, permasalahan pada perempuan selama ini ialah pada perempuan sendiri dan jalan keluarnya ialah perempuan yang harus membekali diri sendiri dengan pendidikan dan pendapatan. Apakah para liberal tidak bisa melihat bahwa justru kaum perempuanlah yang merupakan golongan yang paling minim untuk mendapatkan akses pendidikan, baik karena biaya pendidikan yang mahal atau pun bentuk diskriminasi yang kerap terjadi. Dengan cara apa perempuan bisa mendapatkan penghasilan yang layak, ketika bagian terbesar perempuan hidup di dunia ketiga, yang merupakan korban imperialisme dan hidup di bawah garis kemiskinan. Lalu untuk kasus negara maju, apakah jika banyak perempuan telah memiliki pendidikan dan penghasilan yang tinggi, secara otomatis sistem penindasan itu akan hapus? Pada kenyataannya: tidak. Perempuan tetap tertindas, karena memang Kapitalisme memerlukan ideologi Patriarkal.
Secara faktual gerakan ini juga tak bisa menangkal serangan pemerintah terhadap perempuan, di mana dalam banyak kasus kemanusiaan, perempuan dan anak jadi korban pertama. Para Liberal juga gagal menjelaskan mengapa secara sexis (sesuai dengan kajian utama mereka) masalah ketidaksetaraan gender masih berlaku secara signifikan; bahkan di negara kapitalis maju sekalipun masih ditemui pula perbedaan gaji antara buruh perempuan dengan buruh lelaki.
Keberadaan Feminisme Liberal sering dituduh sebagai senjata kelas borjuis, karena penuh dengan "selubung ideologis". Selubung ideologisnya ialah pelemahan terhadap radikalisasi gerakan perempuan yang secara masif bersatu dengan kekuatan Kiri pada masa-masa perlawanan tumbuh di Eropa dan Amerika Serikat. Apalagi inspirasi pekerja perempuan Rusia pada gerakan Revolusi Rusia 1916 dan buruh-buruh perempuan Amerika Serikat yang menelurkan aksi hari Buruh Internasional (May Day) begitu terngiang-ngiang dan menakutkan bagi kelas penguasa negara-negara kapitalis maju. Jika Feminisme Liberal ini diterapkan, tentunya akan membelokkan tuntutan-tuntutan progresif ke arah tuntutan yang moderat dan reformis. Tuntutan-tuntutan politik untuk perubahan sistem secara keseluruhan akan diganti dengan "peningkatan kemampuan personal" atau "penguatan kepribadian".
Kritik pertama, dapatkah perempuan menjadi seperti laki-laki? Apakah perempuan mengingingkannya? Apakah perempuan harus menginginkannya?.
Jean Bethke Elshtain mengidentifikasikan apa yang dianggap senagai tiga kesalahan utama feminisme liberal.
1) Bahwa perempuan dapat menjadi seperti laki-laki jika mereka menset pemikirannya untuk itu.
2) Kebanyakan perempuan ingin menjadi seperti laki-laki.
3) Semua perempuan seharusnya ingin menjadi seperti laki-laki dan meninggikan nilai-nilai maskulin.
Kritik kedua, perempuan tidak hidup dengan nalar dan otonomi semata.Allison Jagger berpendapat bahwa feminisme liberal mengkonsepsi sebagai agen yang rasional dan otonom, yaitu diri “laki-laki”. Susan Wendell menekankan bahwa feminis liberal tidak secara fundamental berkomitmen, baik untuk pemisahan bentuk rasional dari yang emosional, maupun untuk pemberian penilaian yang lebih terhadap rasio dibandingkan kepada emosi. Sebaliknya, mereka tampaknya sangat menyadari bahwa nalar dan emosi, pikiran dan tubuh adalah “sama pentingnya bagi kelangsungan hidup manusia dan kekayaan pengalaman manusia”. Seseorang adalah mementingkan dirinya sendiri hanya jika ia mengambil lebih daripada bagian yang adil baginya atas suatu sumber daya: uang, waktu, atau bahkan sesuatu yang tidak dapat disentuh seperti cinta. Kritik ketiga, feminisme liberal sebagai rasis, klasis dan heteroseksis. Feminisme liberal hanya berfungsi atau lebih banyak berfungsi untuk kepentingan perempuan kulit putih kelas menengah dan heteroseksual. Meskipun feminisme liberal menerima kritik sebagai kritik yang adil, mereka memberikan pembelaan bahwa perempuan minoritas, perempuan lesbian, dan perempuan pekerja beraliansi dengan feminis liberal di masa lalu dan terus begitu hingga kini. Bahwa semua atau kebanyakan perempuan dihidupi laki-laki, dan karena itu, perempuan bekerja untuk alasan selain alasan finansial. Feminisme liberal tidak mengklaim bahwa perempuan harus mengorientasikan hasrat seksualnya terhadap perempuan dan menjauh dari laki-laki, atau bahwa semua perempuan harus lebih mencintai perempuan daripada laki-laki. Feminisme liberal bersikeras bahwa laki-laki, seperti juga perempuan, harus memperlakukan satu sama lain sebagai seseorang yang setara, sebagai manusia yang sama berharganya untuk dicintai.
PENINDASAN GENDER
Menurut teoritisi penindasan, situasi wanita pada dasarnya hanyalah untuk digunakan, dikendalikan, ditaklukkan, dan ditindas oleh lelaki. Pola penindasan ini masuk dalam organisasi masyarakat yang terdalam dan paling meresap, dalam struktur dominasi mendasar yang disebut patriarchy. Patriarki bukanlah akibat sekunder dab tak diharapkan dari sekumpulan faktor lain seperti biologi atau sosialisasi atau peran menurut jenis kelamin atau sistem kelas. Patriarki adalah struktur kekuasaan primer yang dilestarikan dengan maksud yang disengaja. Menurut kebanyakan teoritisi penindasan, perbedaan dan ketimpangan gender adalah hasil sampingan sistem patriarki. Kini kita beralih pada beberapa jenis teori penindasan : feminisme psikoanalisis, feminisme radikal dan feminisme anarkis.
1. Feminisme Psikoanalisis
Teori ini memepertanyakan apakah opresi terhadap perempuan lebih bersifat psikologis atau sosial. Tokoh-tokoh Feminisme Psikoanalisa yang terkenal antara lain Nancy Chodorow yang menulis buku The Reproduction of Mothering (1978), Juliet Mitchell dengan bukunya Psychoanalysis and Feminism (1974), Caroll Gilligan dengan bukunya In A Different Voice (1982). Feminisme psikoanalisis kontemporer berupaya menerangkan sistem patriarki dengan menggunakan teori Frues dan pewaris intelektualnya. Teori-teori ini menerangkan dan menekankan dinamika emosional kepribadian, emosi, yang sering terpendam di bawah sadar atau ketidaksadaran kejiwaan. Teori-teori ini juga menyoroti pentingnya peran masa kanak-kanak dalam memolakan emosi ini. Namun, dalam upaya menggunakan teori frues, teoritis feminis terpaksa mengolah kembali kesimpulan mendasar Frued karena Frued sendiri mempunyai kesimpulan yang gender spesific, yang terkenal seksis dan patirarki. (Rotzer, 2003 : 428)
2. Feminisme Radikal
Feminisme radikal didasarkan atas dua kelompok keyakinan sentral yakni :
a) Bahwa wanita mempunyai nilai positif mutlak sebagai wanita, suatu keyakinan yang ditegaskan untuk menentang apa yang mereka nyatakan sebagai devaluasi wanita universal
b) Bahwa wanita di mana-mana ditindas dengan keras oleh sistem patriarki
Dengan semangat dan militansi seperti “Black power” Afrika- Amerika atau “kesaksian” orang yahudi yang selamat dari Holocaust, feminis radikal mengelaborasi sebuah teori organisasi sosial, penindasan gender dan strategi perubahan.
Tetapi menurut feminisme radikal, tema kekerasan sebagai kekejaman fisik lahirah terletak di dalam inti hubungan patriarki dengan kekerasan-kekerasan : perkosaan, kekejaman seksual, perbudakan seksual dalampraktik pelacuran, kekejaman suami terhadap istri, penganiayaan seksual terhadap anak-anak, dan bentuk-bentuk pembedahan berkelebihan lain dan sadisme terang-terangan dalam pornografi yang semuanya itu berkaitan dengan sejarah dan praktik kultur pembakaran penyihir wanita, pelemparan dengan batu hingga tewas pezina wanita, penyiksaan lesbian, pembunuhan bayi wanita, membelenggu telapak kaki wanita cina, dan pemaksaan bunuh diri janda orang Hindu.
Inti ajaran feminis radikal :
  1. a) The personal is political adalah slogan yang kerap digunakan oleh femnis radikal. Maknanya bahwa pengalaman-pengalaman individual wanita mengenai ketidakadilan dan kesengsaraan yang oleh para wanita dianggap sebagai masalah-masalah personal, pada hakekatnya adalah isu-isu politik yang berakar pada ketidakseimbangan kekuasaan antara wanita dan laki-laki
  2. b) Memprotes eksploitasi wanita dan pelaksanaan peran sebagai istri, ibu, dan pasangan sex laki-laki, serta menganggap perkawinan sebagi bentuk formalisasi pendiskriminasian terhadap wanita
  3. c) Menggambarkan sexism sebagai sistem sosial yang terdiri dari hukum, tradisi, ekonomi, pendidikan, lembaga keagamaan, ilmu pengetahuan, bahasa, media massa, moralitas seksual, perawatan anak, pembagian kerja, dan interaksi sosial sehari-hari. Agenda tersembunyi dari sistem sosial itu adalah memberi kekuasaan laki-laki melebihi wanita
  4. d) Masyarakat harus diubah secara mnenyeluruh. Lembaga-lembaga sosial yang paling fundamental harus diubah secara fundamental pula. Para feminis radikal menolak perkawinan bukan hanya dalam teori, melainkan sering pula dalam praktek.
  5. e) Menolak sistem hierarkis yang berstrata berdasarkan garis gender dan kelas, sebagaimana diterima oleh feminis liberal.
Kewaspadaan terhadap feminisme radikal
Bagaimana cara mengalahkan sistem patriarki ini ? Menurut feminis radikal, harus dimulai dengan memfungsikan kembali kesadaran mendasar wanita sehingga setiap wanita mengakui nilai dan kekuatan dirinya sendiri, menolak tekanan patriarki yang melihat diri wanita itu lemah, tergantung, dan kelas kedua (second class) dan bekerja dalamkesatuan dengan wanita lain, menggalang semangat persaudaraan saling percaya, dan saling membela (Chasteen, 2001 dalam Ritzer, 2003 : 433). Dengan terciuptanya persaudaraan wanita ini, dua strategi muncul dengan sendirinya, berkonfrontasi terhadap setiap segi dominasi petriarki di mana pun dihadapi dan tingkat pemisahan ketika wanita mulai memimpin bisnis, rumah tangga, komunitas, pusat kreativitas artistik, dan hubungan percintaan lesbian. Feminisme lesbian sebagai suatu untaian utama dalam feminisme radikal adalah keyakinan dan praktik komitmen ”erotis dan atau emosional terhadap wanita yang merupakan bagian dari perlawanan mereka terhadap dominasi patriarki”.
Bagaimana cara mengavaluasi feminisme radikal ? Secara emosional masing-masing kita akan menjawab pertanyaan ini dilihat dari sudut tingkat radikalisme pribadi kita sendir. Orang tertentu mungkin melihatnya terlalu kritis dan orang lain mungkin menilainya dengan sangat menyakitkan. Tetapi, dalam upaya mengevaluasi secara teoritis, orang perlu memperhatikan bahwa feminisme radikal menggabungkan argumen baik itu yang diciptakan kaum Marxian maupun feminisme psikoanalisa mengenai alasan disubordinasikannya wanita dan alasan yang berada di luar jangkauan teori itu. Sejauh ini kita menemukan perbedaan besar dikalangan feminisme. Feminisme radikal telah melakukan riset penting untuk mendukung tesis mereka yang menyatakan bahwa patriarki pada puncaknya bersandarkan pada praktik kekerasan terhadap wanita. Mereka mempunyai program perubahan yang masuk akal meski kurang lengka. Mereka keliru karena memusatkan perhatian semata pada patriarki. Pemusatan perhatian demikian berarti menyederhanakan realitas organisasi sosial dan ketimpangan sosial dan dengan demikian pendekatan penyelesaian masalah yang ditawarkan pun kurang realitas.
3. Feminisme Anarkis
Anarkisme sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan. Mereka seperti kaum posmo -anti otorianisme, anti kelembagaan dan sistem; karenanya eksistensi kekuasaan dan negara harus ditolak karena lembaga adalah sumber penindasan. Masyarakat sosialis menurut versi mereka ialah masyarakat federal yang terdiri dari komune-komune otonom yang melakukan produksi bersama. Dalam praktek perjuangannya pun, karena mereka anti otorian, mereka berelasi lewat jaringan-jaringan kerja (networks) dan menganggap bahwa organisasi yang ketat dan berdisiplin, melanggar kebebasan individu.
Feminisme Anarkis - yang juga banyak variannya (bahkan ada varian yang pro kapitalisme, walau tidak dominan) - secara umum mendasarkan pada pemahaman demikian : penindasan perempuan karena adanya sistem yang menindas. Kapitalisme adalah sistem yang menindas dan sistem itu sendiri adalah otorianisme yang pula menindas. Feminisme Anarkis menyatakan bahwa negara dan patriarki adalah penyimpangan yang merampas kebebasan dan karenanya harus segera dihancurkan. Teori ini menganggap subordinasi perempuan ditentukan sedemikian rupa oleh sistem hubungan seksual dan keluarga sebagaimana juga oleh kontrol negara, karenanya semua hambatan sosial harus dihilangkan dan menggantinya dengan komunmitas perempuan yang desentralis dan organis. Tokoh-tokoh Feminis awal seperti Emma Goldmann dan Voltaire berpendapat bahwa sikap-sikap sosial akan tumbuh secara organis menjadi kebebasan seksual dan psikologis.
Kewaspadaan untuk Feminisme Anarkis
Kelemahan yang paling mencolok dari teori anarkisme sebagai suatu paham ialah ketidakpercayaannya pada bentuk-bentuk otorianisme - karena ilusi libertariannya tersebut. Pemujaannya yang berlebihan pada kebebasan individu mengaburkan kenyataan bahwa kelas yang dihadapi adalah kelas yang menggalang kekuatannya secara organisasional yang amat rapi dan ketat, di mana kelas pemodal ini memiliki seperangkat hukum, tentara dan senjata sebagai alat-alat kekerasan; (tentu saja mereka juga punya alat-alat ideologinya yang didukung fasilitas dan dana besar : seni, ilmu, media massa, pendidikan dll). Anarkisme menolak pengorganisiran secara kelas, sementara lawannya adalah kelas pemodal yang begitu sadar untuk mengorganisir diri secara kelas pula.
Demikian pula teori feminisme anarkis akan menumpulkan kesadaran perempuan yang akan terilusi pada ide kebebasan yang anti dialektika ini. Ada dua kesalahan pada teori ini : pertama pandangan bahwa kebebasan bisa dipraktekkan dalam lapangan politik (jika mereka itu pun sepakat bahwa perjuangan perempuan adalah politik) yang begitu keras menghadapi kekuatan kelas bermodal. Mereka masih percaya pada individu-individu secara organis akan menjawab tuntutan bersama untuk memukul secara 'bertenaga' ke jantung kekuatan penguasa. Hanya persatuan yang kuatlah -sebuah kesatuan yang berfusi dengan praktek demokratik (kami menyebutnya sentralisme demokratik) - yang bisa mengarahkan perjuangan kepada tahap-tahap yang lebih maju. Kedua, apakah secara hakekat ada kebebasan di masa kekuasaan modal seperti sekarang ini? Tak ada. Kehendak seseorang secara individu selalu dibatasi oleh banyak hal, terutama uang. Terdengar aneh jika masih berlaku ingin punya kebebasan pada masa sekarang. Ekonomilah yang membatasi kelas pekerja, karena ekonomilah yang jadi basis material sejarah yang dikuasai pemodal. Jika ilusi "kebebasan organik" juga diterapkan dalam gerakan, apakah kelas pekerja akan mempunyai kekuatan yang teguhdan kuat untuk menghancurkan kekuasaan kelas penguasa? Artinya kita memang ingin menuju kebebasan umat manusia, tetapi dalam praktek gerakan, ada harga yang harus dibayar. Inilah yang tak dimengerti oleh kaum anarkis, termasuk para feminisnya.
Jadi, ada beberapa point sebagai kesimpulan, ada beberapa kritik mendasar yang harus dilontarkan pada berbagai aliran Feminisme di atas:
  1. Secara umum aliran-aliran itu adalah reduksi (pembiasan) dan distorsi (pengacauan) permasalahan yang sebenarnya. Permasalahan perempuan berkaitan dengan adanya kepemilikan pribadi dan kelas-kelas secara sosial di dalam masyarakat, tetapi, Feminisme borjuis memandang persoalan secara septong-sepotong. Inilah yang dilihat dari teori Feminisme liberal atau Posmo.
  2. Aliran-aliran itu juga salah dalam melihat konteks permasalahan, seperti pada Feminisme radikal yang memandang lelaki adalah musuh kaum perempuan atau Feminis Liberal yang melihat permasalahan perempuan pada kesalahan perempuan itu sendiri. Kesalahan dalam melihat permasalahan, akan bersifat kontraproduktif dalam perjuangan.
  3. Aliran-aliran itu memandang perjuangan perempuan secara sektoral dan "separatis" dan tidak ada keseriusan untuk bergabung dengan kekuatan sektor massa lain. Ini terjadi karena mereka berpijak pada kesalahan teoritik yang lebih mencerminkan pada masalah seksisme.
  4. Aliran-aliran itu masih mengilusikan tentang kebebasan individual dan ini menyebabkan pelemahan pada gerakan pembebasan perempuan dan rakyat secara terorganisir
  5. Lebih dari itu; aliran-aliran itu akan dimunculkan sebagai ideologi tanding bagi keberadaan ideologi progresif, yang tujuannya akan memoderasi gerakan dan pada akhirnya, untuk memenangkan ideologi kelas yang sedang berkuasa.
PENINDASAN STRUKTURAL
Teori penindasan sruktural, sebagimana teori penindasan gender mengakui bahwa penindasan berasal dari fakta bahwa beberapa kelompok orang mengambil manfaat langsung dari tindakan mengontrol, memanfaatkan, menundukkan, dan menindas kelompok lainnya. Teoritis penindasan struktural manganalisa bagaimana kepentingan dalam dominasi diberlakukan melalui struktural sosial, melalui aransemen besar yang terus berulang dan rutin yang selalu merupakan kekuasaan yang muncul di sepanjang sejarah. Para teoritisi ini memfokuskan pada sturktur patriarki, kapitalisme, rasisme, dan heteraseksisme, dan mereka menempatkan pelaksanaan dominasi dan pengalaman penindasan dalam interplay dari struktur-struktur tersebut, yakni dalam cara di mana mereka saling menguatkan satu sama lain. Teoritisi penindasan sturktural tidak mengeluarkan atau menolak agen dominan indvidual, tetapi mereka memeriksa bagaimana agen tersebut merupakan produk dari penataan struktural. Dalam bagian ini kita akan melihat pada dua tipe teori penindasan struktural : feminisme marxian dan feminisme sosialis.
1. Feminisme Marxian
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini, status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Marx menyatakan : kondisi materiil atau ekonomi merupakan akar kebudayaan dan organisasi sosial. Cara-cara hidup manusia merupakan hasil dari apa yang mereka produksi dan bagiamana mereka memproduksinya. Maka, semua sejarah politik dan intelektual dapat difahami dengan mengetahui ’mode of economic produstion’ yang dilakukan oleh bangsa manusia. Kesadaran dan diri berubah mengiukuti perubahan lingkungan material. Menurut Engels, wanita dan laki-laki memiliki peranan-peranan penting dalam memelihara keluarga inti. Namun karena tugas-tugas tradisional wanita mencakup pemeliharaan rumah dan penyiapan makanan. Sedangkan tugas laki-laki mencari makanan, memiliki dan memerintah budak, serta memiliki alat-alat yang mendukung pelaksanaan tugas-tugas tersebut: laki-laki memiliki akumulasi kekayaan yang lebih besar ketimbang wanita. Akumulasi kekayaan ini meyebabkan posisi laki-laki di dalam keluarga menjadi lebih penting dari pada wanita dan pada gilirannya mendorong laki-laki untuk mengeksploitasi posisinya dengan menguasai wanita dan menjamin warisan bagi anak-anaknya.
2. Feminisme Sosialis
Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang mendinginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan baha patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.
Inti ajaran feminis sosialis :
  1. a) Wanita tidak dimasukkkan dalam analisis kelas, karena pandangan bahwa wanita tidak memiliki hubungan khusus dengan alat-alat produksi. Karenanya perubahan alat-alat produksi merupakan ’neccesary condition’, meskipun bukan ’sufficient condition’, dalam mengubah faktor-faktor yang mempengaruhi penindasan terhadap wanita.
  2. b) Menganjurkan solusi untuk membayar wanita atas pekerjaannya yang dia lakukan di rumah. Status sebagai ibu rumah tangga dan pekerjaannya sangat penting bagi berfungsinya sistem kapitalis.
  3. c) Kapitalisme memperkuat sexism, karena memisahkan antara pekerjaan berguji dengan pekerjaan rumah tangga dan mendesak agar wanita melakukan pekerjaan domestik. Akses laki-laki terhadap waktu luang, pelayanan-pelayanan personal, dan kemewahan-kemewahan telah mengangkat standar hidupnya melebihi wanita, karenanya adalah laki-laki sebagai anggota sistem patrilinial, bukan hanya cara-cara ekonomi kapitalis, yang diuntungkan oleh tenaga kerja wanita.
3. Feminisme Post Modern
Ide Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial, tetapi lebih dalam makna diskursus.
Sebenarnya teori ini lahir dari kemunduran dan demoralisasi gerakan kiri dan gerakan perempuan pada tahun 1970an disusul dengan runtuhnya rezim Stalinisme di Uni Sovyet dan Eropa Timur. Ide ini lahir dari kefrustasian para mantan Marxis yang salah satu motornya ialah kelompok Frankfurt School.
Berawal dari kefrustasian inilah mereka kemudian merumuskan bahwa "semua kebenaran itu relatif", kebenaran yang mutlak tidak ada. Dengan demikian, konsepsi tentang pembebasan perempuan kemudian dikembalikan pada pengalaman masing-masing individu. Mereka percaya bahwa tidak akan ada satupun konsep pembebasan perempuan yang akan membebaskan perempuan sebagai kaum. Pembebasan itu hanya dapat terjadi jika semua perempuan sudah dapat "menemukan konsepsi mereka sendiri tentang pembebasan perempuan"